Kalau ngomongin tentang
kehamilan dan kelahiran, kadang saya suka sedih deh. Gimana enggak, waktu hamil
dulu saya gak ngerasain hamil sampai usia 9 bulan, atau istilahnya hamil tua.
Kata orang, di hamil tua itu lah sensasi
nikmatnya menjadi bumil benar-benar terasa. Mulai dari susah tidur, susah
duduk, susah makan, eh salah ya maksudnya susah nahan nafsu makan, sampai susah
berjalan. Wooow..luarr biasa banget ya kodratnya wanita itu. Oia, balik lagi ke
cerita sebelumnya, kenapa saya tidak mengalami masa hamil tua? Apakah karena
memang saya tidak pernah hamil? atau keguguran di saat hamil muda? Jawabannya adalah, saya itu mengalami hamil
dan mengalami masa hamil muda, hanya saja saya hanya alami sampai usia 7 bulan
saja, atau sekitar usia 30 minggu. Kenapa? Karena pada saat saya sedang
mengandung di usia tersebut, saya mengalami pecah ketuban dini. Awalnya saya
tidak mengira lho kalau air yang keluar dari rahim saya itu air ketuban, karena
rasanya hanya seperti “pengen pipis”. Air berwarna bening itu saya rasakan
keluar seperti kita sedang mengompol atau sedang mengalami haid. Karena panik
dan bingung dengan kondisi tersebut, lalu saya menelpon dokter kandungan,
menurut dokter sih saya harus segera ke rumah sakit untuk diperiksa karena
dikhawatirkan saya mengalami pecah ketuban. Perasaan saya dan suami waktu itu
sangat kalut, antara takut, khawatir akan sang janin, sedih dan campur aduk
pokoknya. Jika readers mengalami Ketuban pecah dini, sebaiknya ikuti langkah
berikut artikel tentang ketuban pecah dini
Ternyata kekhawatiran
saya benar-benar terjadi, dokter memberikan pilihan pada kami. Yaitu,
mengeluarkan segera si jabang bayi, atau ditunggu sampai usia 9 bulan dengan
resiko cacat mengingat pada saat itu kondisi air ketuban semakin berkurang.
Ditengah menahan rasa sakit dan mules yang luar biasa, saya tak henti-hentinya
menangis (memang dasarnya saya ini keturunan melankolis, hehe). Suami selalu
memberikan dukungan, dia selalu mengajak saya untuk tenang dan berdoa.
Akhirnya, sebuah
keputusan berani kami ambil. Demi kesehatan saya dan si jabang bayi, kami
memutuskan untuk melahirkan. Itu artinya kami siap menerima resiko melahirkan
bayi prematur. Tidak pernah terbayang olehku mengalami hal ini. Setelah
menerima suntikan penguat paru, keesokan harinya, 17 november 2008, saya
menjalani proses operasi secar. Tepat pukul 11.45 operasi berhasil, dan saya
melahirkan bayi perempuan, sesuai perkiraan dokter di bulan sebelumnya. Karena
terlahir prematur, bayi kami hanya memiliki berat sekitar 1500gr dengan panjang
40cm. Bayi mungil itu kami beri nama Dealova Almyra Purnomo, yang artinya
wanita tangguh dengan segala makna yang baik, sedangkan purnomo diambil dari
nama belakang suami. Kami biasa memanggilnya Aira.
Kondisi Aira yang
terlahir kurang bulan, membuat keberadaannya dipisahkan dengan bayi lahir cukup
bulan. Aira harus diberikan perawatan khusus di ruang NICU (Neonatology
Intensive Care Unit) yang artinya kurang lebih unit perawatan intensif bayi
baru lahir yang memerlukan perawatan khusus, salah satunya menangani bayi
prematur. Kondisi kesehatan Aira Alhamdulillah tidak mengalami masalah, hanya
saja dia tergolong bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Perawatan yang
maksimal terus dilakukan untuk Aira dan juga bayi-bayi mungil lainnya. Semua
terjadwal, seperti pemberian ASI, kunjungan orang tua, penimbangan berat badan,
penggantian popok, sampai terapi kanguru.
Sedih
rasanya melihat kondisi Aira yang terpisahkan dengan saya. Setiap kali nengok
ke pasien sebelah, yang sama-sama baru melahirkan, saya menangis. Saya iri
melihat mereka bisa bersama si buah hati sambil menyusui. Sementara saya, ASI
hanya bisa diberikan di jam-jam tertentu itu pun tidak langsung, jadi saya
harus memompa terlebih dahulu.
Mengenai
ASI yang diberikan untuk Aira, waktu itu sempat ada pro kontra antara saya dan
pihak rumah sakit. RS menyarankan agar Aira dibantu dengan susu formula agar
lebih optimal untuk menaikkan berat badan. Tapi saya tolak, karena saya yakin
akan keutamaan ASI, seperti yang dijelaskan dalam artikRiset tentang ASIel…..pernah suatu hari,
kami ditawari produk susu Singapore oleh salah satu dokter disana. Awalnya .kami
sempat setuju dengan produk itu. Tapi setelah berbagai pertimbangan dan diskusi
dengan keluarga kami batal memesan susu tersebut. Selain harganya mahal,
kualitas pun belum tentu terjamin. Kami percayakan pada ASI. Alhamdulillahnya,
ASI saya melimpah pada saat itu. Suami saya sangat ayah ASI. Dia selalu
mendukung saya untuk memberikan ASI pada Aira, setiap hari saya menyetok ASI
untuk dibawa ke rumah sakit keesokan harinya. Untuk para ibu, yakinlah kalau
ASI itu pilihan tepat dan terbaik untuk buah hati kita. Minimal ASI ekslusif
sampai 6 bulan, maksimal sampai 2 tahun.
Singkat
cerita, Aira dirawat di rumah sakit selama 30 hari, setelah berat badannya
mencapai 1800gr dan dokter menyatakan kondisinya memungkinkan untuk dirawat di
rumah. Wuiiih..senangnya luar biasa. Meskipun bingung juga tentang perawatan
selanjutnya di rumah. Tapi kami harus siap dan yakin semua akan berjalan
baik-baik saja.
Merawat
bayi di rumah, ternyata gampang-gampang susah. Karena pengetahuan saya tentang
merawat bayi sangatlah awam, maka sebulan pertama Aira dirumah, saya minta
ditemani tante dan bergantian dengan ibu saya. Bulan berikutnya, berdasarkan
pengamatan dan pengalaman para “suster” Aira dirumah, kami sepakat untuk
merawat sendiri buah hati kami. Dengan bermodal majalah, buku serta
keikutsertaan di milis, sedikit-sedikit saya mengetahui tentang perawatan untuk
bayi prematur. Secara umum sih tidak ada bedanya mungkin ya dengan merawat bayi
pada umumnya, hanya saja kekhawatiran kami yang terlalu besar, membuat kami
memperlakukan Aira secara spesial. Oia, saya lupa memberikan informasi. Pada
saat saya membawa pulang Aira dari RS, suster memberikan petuah, begini katanya
“….bu, kalau ngasih minum/ASI jangan banyak-banyak ya bu, barangkali ibu
lakukan biar bayinya cepet gede, karena bayi premature itu mudah tersedak,
soalnya paru-parunya belum kuat, satu lagi biasanya bayi kecil itu suka lupa
nafas lho bu, jadi ibu harus sering memperhatikan. Kalau itu terjadi pada Aira,
ibu kelitikin saja telapak kakinya, biar dia bangun….” Itu kira-kira penggalan
kalimat yang masih saya ingat. Merasa banyak yang perlu kami perhatikan, akhirnya
kami sering bergiliran begadang untuk menjaga Aira. Alhamdulillah semua
terlewati dengan baik.
Seiring
dengan bertambahnya umur, bertambah pula perkembangan Aira. Dari waktu ke
waktu, Aira mengalami perkembangan yang cukup memuaskan. Yang bikin kami
bangga, perkembangan dia tidak terlihat berbeda dengan anak-anak yang lahir
normal. Secara motorik mungkin kami nilai Aira agak sedikit lamban, misalnya
saat anak lain bisa melompat di umur 2tahun, Aira baru bisa akhir-akhir ini. Tapi
untuk sisi emosi dan kecerdasan, kami rasa dia normal-normal saja.
1-2
tahun usia pertamanya, Aira sering mengalami sakit. Sakit yang di derita sih
tidak jauh dari batuk-pilek, dan kata orang itu wajar. Awalnya kami
mengkhawatirkan kondisi Aira yang sering sakit. Tapi orang-orang di sekeliling
kami selalu memberikan penjelasan atau dukungan bahwa kalau anak belom dua
tahun memang begitu, rentan sakit. Setelah kami amati, ternyata kata
orang-orang itu ada benarnya juga ya..jadi bukan karena Aira terlahir prematur,
bahkan anak yang lahirnya normal pun mengalami hal itu. Ditengah-tengah
kewajaran itu, jauh di lubuk hati kami, ada perasaan was-was. Kami pun sering
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak. Alhamdulillah, dari semua dokter
yang kami temui, Aira tidak mengalami suatu penyakit serius. Kalaupun ia sering
mengalami batuk pilek, itu hanya karena alergi atau factor cuaca dan
lingkungan. Mungkin pendapat dokter ada benarnya juga ya, mengingat untuk
kebutuhan asupan nutrisi, saya fikir Aira sudah mendapatkan yang terbaik.
To
be continue….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar